Monday, September 24, 2007

Catatan: ini bukan artikel, melainkan cerpen yang saya tulis di tengah-tengah kesibukan mengikuti pelatihan English for Academic Purpose di Jakarta, Feb - April 2007.

Jangan Bangun Jembatan di Selat Sunda

Cerpen: Kunaifi

Keningku berkerut dalam, membentuk parit-parit yang jumlahnya terus bertambah, begitu juga dengan Dedi. Kami berpikir keras bagaimana menemukan cara supaya bisa bersama-sama gadis itu selama kapal membawa kami menyeberangi Selat Sunda. Semua strategi sudah diutarakan, segenap kecerdasan pun sudah dikerahkan, tapi hanya berakhir kebuntuan. Ide-ide yang tertuang tak satupun yang sempurna.

Kami melompat keluar dari bus begitu menyadari dia sudah tak di sana. Udara dingin di dalam bus seketika berganti hawa panas begitu kaki kami menginjak lantai kapal. Suara bising ratusan mobil menenggelamkan pembicaraan kami. Aroma di sana sungguh tak sedap..., pengap. Asap knalpot dan bau sampah yang berserakan di mana-mana membuat urat-urat di kepala berdenyut-denyut.

Kami menaiki tangga. Begitu tiba di dek atas, kami menghela nafas panjang, menghirup udara laut sebanyak-banyaknya, memaksa keluar udara bercampur oli yang terlanjur masuk ke dalam paru-paru.

Uuuhhh...., kesegaran menyelimuti sekujur tubuh.

Setelah mencari-cari dengan pandangan berkeliling, kami menemukan gadis itu.

“Itu dia,” kata Dedi mengarahkan telunjuknya ke arah haluan kapal.

Kami melihat gadis itu sedang berbicara bersama pria yang berasal dari bus yang sama dengan kami. Pantas saja tadi kami tidak berhasil menemukan ide terbaik, rupanya pria itu telah mencuri ide kami terlebih dahulu. Kini dia bersama gadis itu, artinya, habislah sudah harapan kami.

Ibarat tentara kalah perang, kami memutuskan untuk mengisi waktu dengan berjalan-jalan di atas kapal sambil menikmati suasana senja itu. Tiupan angin laut membuat rambut panjangku berkibar seperti sang saka merah-putih di langit Jakarta 17 Agustus 45. Agak dingin, tapi terasa lembut membelai-belai muka, lalu menjalar ke leher, dada, perut dan sekujur tubuh. Sesekali aku menyeka bibirku yang kering dengan ujung kerah baju, terasa asin karena sudah bercampur uap air laut.

Di sebelah kiri kami terhampar gugusan pulau-pulau yang sungguh memesona. Sebenarnya di balik keindahan permukaannya tersimpan sesuatu yang sangat mengerikan. Pulau-pulau itu adalah sisa letusan dahsyat Krakatau ratusan tahun yang lalu.

Di sebelah kanan, agak jauh, ada sebuah pulau yang lumayan besar dengan pantainya yang berpasir kecoklatan. Pulau itu juga sangat indah, pohon-pohon dengan daunnya yang hijau menutupi bukit-bukit kecil yang ada di sana. Pikiranku melayang ke suatu waktu di masa depan. Aku melihat diriku berlari-lari kecil di pantai itu dengan kaki telanjang, mengejar gadis itu. Oh..., bukan hanya kakiku yang telanjang, tapi suluruh tubuhku, tak sepotong kain pun membalut tubuhku, dia juga...

Ah..., aku agak tersentak menyadari bahwa aku menghayal terlalu jauh. Jangankan untuk berkejar-kejaran di pantai itu, pada langkah pertama saja aku sudah kalah. Lihat! Dia masih ngobrol dengan asyiknya bersama laki-laki beruntung itu.

Kakiku terbenam ke dalam pasir basah yang lembut hingga mata kali. Terasa dingin karena di bagian dalam kandungan airnya lebih banyak. Tentu saja aku berhasil menyusulnya dengan mudah, karena dia memang berlari dengan kecepatan yang memungkinkanku menyusulnya. Tawa kami berderai membuat sekawanan burung terusik dan terbang menjauh.

“Pergilaaaaahhh,.... kami hanya ingin berdua di siniiiii,” kami berseru hampir bersamaan.

Lalu kami bergumul di pantai itu, kemudian.....

Uhhh..., mengapa khayalan itu muncul lagi?

Mana mereka?

Memandang ke bawah terlihat gelombang kecil akibat badan kapal membelah air laut. Konon kabarnya dulu lumba-lumba sering terlihat berlompatan mengikuti arah kapal. Tarian lumba-lumba selalu disukai. Gerakan yang ditampilkannya sama indahnya dengan tarian gadis nan gemulai.

Kami menemukan Helena, si gadis bule yang juga satu bus dengan kami. Dia duduk di salah satu koridor. Di telinganya terpasang earphone untuk mendengarkan musik. Kehadiran kami sama sekali tidak mengusiknya. Kami lalu ngobrol tentang banyak hal. Aku amat tertarik pada cerita tentang kincir angin di negara asalnya. Sementara Dedi lebih tertarik bertanya tentang kesebelasan Ajax yang terkenal di Amsterdam.

“Pucuk dicinta ulam tiba.”

Gadis itu datang menghampiri kami. Aku pura-pura acuh. Sikapku seolah-olah berkata, “Mengapa ke sini?” Tapi sebenarnya jantungku berdegup kencang. Aku sendiri heran mengapa begini? Ratusan gadis cantik hilir mudik di Kota Pelajar, puluhan di antaranya pernah ngobrol panjang denganku, tapi tak pernah membuat jantungku berdebar-debar begini. Kami ngobrol bersama-sama, kecuali pria itu. Aku rasa saat itu adalah waktu yang paling menyebalkan baginya, karena aku tahu, dia masih ingin jalan-jalan berdua saja dengan gadis itu.

Sebenarnya di dalam bus kami sudah bicara beberapa patah kata. Awalnya kupinjam buku catatan lagu yang sedang dibacanya; Westlife, judulnya I Have a Dream. Sebelum mengembalikan bukunya, kutulis beberapa kata di sana sekedar untuk menarik perhatiannya. Ternyata berhasil, dia membalas dengan satu kalimat, “Bagi salaknya dong”. Hihihii. Aku tak menyangka salak yang kubeli di Pasar Beringharjo itu akan menjadi salak keberuntunganku. Andai dari awal tahu akan seperti ini, aku bersedia membayar salak ini tiga kali lipat harga sebenarnya.

Sambil memberikan dua butir salak pondoh, kutunjukkan buku catatanku kepadanya. Di dalamnya terdapat kisah perjalanan kami yang dimulai dari sebuah terminal bus di Jakarta. Di dalam catatan itu aku tak lupa menulis tentang dirinya. Aku senang melihat dia suka membaca catatanku.. Saat kutanya alamatnya, dia menulis beberapa baris menggunakan aksara yang tak kumengerti, seperti aksara China, tapi aku rasa bukan.

“Ini PR buatmu,” katanya sambil tersenyum penuh misteri. Tidak masalah, karena dia juga memberikan alamat emailnya.

Di dalam bus ada seorang gadis kecil berumur sembilan tahun yang cantik sekali. Namanya Putri. Bersama ibunya, Putri duduk di samping gadis itu. Putri berasal dari Meulaboh, kota yang luluh-lantak dihantam tsunami dua tahun lalu. Setiap menyaksikan berita mengenai tsunami, aku pasti teringat padanya, “Apakah dia selamat?” Putri inilah yang banyak membantu kami dalam berkomunikasi. Dia bertindak sebagai perantara sekaligus moderator perbincangan kami. Keberadaannya kubutuhkan karena sebenarnya aku malu ketahuan ibu si Putri mencoba menarik perhatian gadis di sampingnya. Malu sekali membayangkan suasana itu.

Setelah dua jam berlayar, suara terompet kapal terdengar membelah langit sore itu menandakan kapal akan segera merapat ke pelabuhan Bakauheni Lampung. Selamat datang pulau Sumatera, tanah airku. Setelah meninggalkan kapal, perjalanan kami berlanjut hingga lebih satu hari satu malam berikutnya. Dengan gadis itu di dalam bus, perjalanan dua hari dua malam terasa amat singkat.

Dan masa perpisahan pun tiba saat bus berhenti tepat di depan rumahku. Dia berdiri, mengantarkanku hingga ke depan pintu. Aku tidak menyangka dia akan melakukan itu. Dari raut wajahnya kulihat sejuta kata berebutan hendak diucapkannya, tetapi hanya satu yang dapat kubaca dengan jelas, “selamat berpisah.”

Setelah itu kami berpisah, tapi bertemu..., bertemu tapi berpisah. Dua kata berlawanan arti yang sesungguhnya tidak bisa hadir di tempat dan waktu yang sama. Tapi sungguh, kedua kata itu hadir dalam hidup kami.

Kisah penuh gelora kemudian menjadi denyut jantung kami, mengalir bersama darah, dipompa oleh jantung yang terpisah, tapi bertemu, jantung yang satu tapi terpisah. Kisah Kahlil Gibran dan May Ziadah pun berlaku pada kami. Kepadanya kuberikan milikku yang paling berharga, yaitu hatiku, dan dia pun memberiku miliknya yang paling berharga. Tubuhnya menggunakan hatiku dan di tubuhku ada hatinya.

Tak kurang dari tiga tahun lamanya kami bertukar hati dan jantung serta merasakan aliran darah yang sama. Sebuah kisah asmara yang menurut orang lain terasa asing, tapi bagi kami justru asyik. Ratusan lembar kertas kami kirimkan, ditambah puluhan jam pembicaraan di telepon, dan puluhan email. Bila ada yang bertanya kepadaku berapa lama aku bertemu kekasihku, kujawab, “Lebih dari tiga tahun.” Aku sama sekali tidak bermaksud berbohong, karena selama itu aku selalu bersamanya, bekerja bersama, tidur bersama, mandi bersama, ke mana-mana bersama. Hatiku dan hatinya satu.

Tapi...., apa yang kemudian kulakukan? Aku memang bukanlah lelaki yang tabah. Apa yang kulakukan sunggu tercela. Kubelah hati kami, kupisahkan jantung kami, kutakar darah kami. Kukembalikan miliknya padanya dan kuambil milikku. Barangkali itulah makna kata tak terucap di pintu bus itu, “selamat berpisah.”

Sesungguhnya aku ragu. Setelah hati, jantung dan darah kupisah menjadi dua, aku tak bisa lagi membedakan mana miliknya dan mana milikku. Semuanya serba sama. Tiga tahun lebih lebur menjadi satu membuatnya serupa. Aku curiga, yang kuberikan padanya adalah hati, jantung dan darahku, dan yang kini ada di dalam tubuhku adalah miliknya. Sebab, setiap waktu dia bicara di dalam diriku, memanggil-manggil namaku, dan setiap kupegang dadaku, aku seperti menyentuh dirinya. Hanya satu cara membuktikannya, yaitu dengan bertanya, ”Apakah di dalam dirinya ada aku yang memanggil-manggil namanya?” “Apakah bila dia memagang dadanya dia seperti menyentuhku?”

Tentu pertanyaan itu akan kusimpan sendiri, karena hidup tak berlaku surut dan waktu tak berjalan mundur. Kini dia telah tiba di istana harapan. Dia sudah menemukan hidupnya yang nyata, dengan cinta yang sejuta kali lebih besar daripada yang kuberikan di dunia mimpi.

Mungkin kini perutnya mulai membesar, atau mungkin dia sudah punya beberapa orang putra-putri. Kisah di Selat Sunda tak mungkin hapus dari memoriku. Ia sudah terpahat dalam sekali. Aku sungguh tak rela bila orang-orang membangun jembatan di Selat Sunda, sebab kapal-kapal itu tak akan berlayar lagi di sana. Perginya kapal-kapal itu sama halnya menenggelamkan prasasti di dalam hatiku.

Jangan bangun jembatan di Selat Sunda......!

Kuningan, 17 Februari 2007